Idul Fitri (Sutadji Calzoum Bahri) mengulik sedikit makna puisi yang terkadung didalamnya
Idul Fitri
(Sutardji Calzoum Bahri)
Berhubung masih memasuki waktu hari raya (idul fitri) maka kali ini kita akan mengulas salah satu puisi yang memiliki relevansi pada saat ini yakni puisi dari salah satu sastrawan terkenal Indonesia Sutarji Calzoum Bahri yang bertemakan “Idul Fitri”. Sebelum kita mengulasnya lebih dalam, dihari fitroh ini saya meminta maaf apabila memiliki kesalahaan baik disengaja maupun yang tidak disengaja, baik itu tentang kesalahan dalam menulis maupun kesalahan dalam berperilaku ataupun kesalahan-kesalahan lainnya. Semoga dihari kemenangan ini hati kita kembali bersih, amal ibadah selama berpuasa diterima, doa yang dipanjatkan disepertiga malam dikabulkan, serta segala hal baik senantiasa Allah SWT limpahkan kepada kita aminnn... baik, mari kita ulas
Puisi yang berjudul “Idul Fitri” karya Sutarji Calzoum Bahri ini mengisahkan tentang perjalanan seorang hamba yang berserah diri dan mengharap ridho kepada TuhanNya. Diawal puisi tersebut nampak seorang tokoh aku melakukan pertaubatan dan melaksanakan ibadah ramadhan dengan kekhusukan dan penuh ikhlas serta menyesali perbuatan masa lalunya yang sia-sia, hal tersebit nampak pada penggalan puisi berikut
Lihat
Pedang tobat ini menebas-nebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia
Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,
telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang
Telah kuhamparkan sajadah
Yang tak hanya nuju Ka’bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah
Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu
Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya
Maka aku girang-girangkan hatiku
Penggalan bait tersebut menggambarkan seorang hamba yang menyesali perbuatannya dan melakukan pertaubatan nasuhah agar ia di bulan yang penuh berkah tersebut mendapat ridho dari Tuhan Yang Maha Esa. Ia mendirikan sholat malam, melakukan wirid siang malam menanti mukjizat di malam Lailatul Qadar dengan tujuan agar semua perbuatan yang ia lakukan dahulu dapat dimaafkan oleh Tuhannya. Sebuah hubungam intim antara hamba dengan Tuhan yang sangat luar biasa.
Aku bilang:
Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam
Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang
Namun si bandel Tardji ini sekali merindu
Takkan pernah melupa
Takkan kulupa janji-Nya
Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta
Maka walau tak jumpa denganNya
Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
Semakin mendekatkan aku padaNya
Dan semakin dekat
semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa
O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini
ngebut
di jalan lurus
Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir
tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia
Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu
di ujung sisa usia
Penggalan puisi diatas menjelaskan kemantapan hati seorang hamba kepada TuhanNya, ia meyakini bahwa bulan ini adalah bulan kemuliaan baginya sehingga segala macam bentuk ibadah ia lakukan agar ia mendapat ridho dan ampunan dariNya. Ia meyakini bahwa segala bentuk ibadah kepada tuhan dengan berlandasan cinta maka Tuhan akan mencintai hambanya sebagaimana Tuhan mencintai utusan dan segala makhluknya. Diakhir penggalan puisi diataspun nampak jelas bahwa ia tidak ingin lagi kembali ke trotoar (jalanan dunia yang menyesatkannya) dan fokus untuk memperbaiki diri serta mencari ilham dari Tuhan dipenghujung usianya.
Maka pagi ini
Kukenakan zirah la ilaha illAllah
aku pakai sepatu sirathal mustaqim
aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id
Aku bawa masjid dalam diriku
Kuhamparkan di lapangan
Kutegakkan shalat
Dan kurayakan kelahiran kembali
di sana
Diakhir puisi ini kita diperlihatkan tentang kata-kata yang penuh akan makna. Dimana tokoh tersebut telah sungguh” ingin memperbaiki dirinya sehingga sampai sampai diibaratkan mengenakan zirah lailaha ilallah dan memakai sepatu siratul mustaqim dan berjalan untuk mmenunaikan sholat Id dengan membawa masjid didalam hatinya (baju dan sepatu batiniah serta dengan langkah yang ikhlas untuk menuju penciptaNya). Penggalan akhir yang sangat mengesankan. Dapat kita baca dan pahami bersama, pada penggalan akhir dari puisi ini, kita diperlihatkan tentang kehidupan yang baru (kembali fitroh/kembali suci). Dimana tokoh aku ini telah mantap berhijrah kearah yang lebih baik daripada langkahnya yang lalu.
Komentar
Posting Komentar