Sajak Palsu (Agus R. Sarjono)
Minggu lalu kita sudah membahas sedikit isi atau kandungan makna dari puisi milik Widji Tukul, kali ini kita akan membahas salah satu puisi yang lahir sekitar tahun 1998-an yang didalam puisi tersebut masih terdapat sebuah sindiran sama seperti puisi-puisi kebanyakan yang lahir pada era itu yakni Sajak Palsu karya Agus R. Sarjono. Beliau lahir di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1962 dan mungkin sekarang sekitar 59 tahun. Nama beliau dikenal sebagai penyair, novelis, dan penulis esai sastra yang dimuat di berbagai media massa. Salah satu karyanya yang sangat kontroversial dan masih sangat relevan jika dihubungkan dengan zaman sekarang adalah Sajak Palsu yang ia ciptakan. Puisi ini merupakan sebuah sindiran atau barangkali sebuah ungkapan emosi yang ia tuangkan dalam bentuk tulisan sehingga terciptalah sajak ini. Sajak ini menceritakan tentang kehidupan di negeri ini yang penuh dengan kepalsuan atau kebohongan.
Sajak Palsu
Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima
palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakatpun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.
1998
Menurut saya sajak tersebut merupakan sebuah pararel yang menghubungan tentang hal terkecil sampai akhirnya hal tersebut makin besar hingga menjadi sangat besar mungkin bisa dikatakan sebagai paramida terbalik. Dimana dalam tulisan tersebut sang penulis sudah memikirkan matang-matang dimana sumber masalah itu berasal, yakni dari bangku sekolah. Dimana jika seorang anak itu telah di diberikan kepalsuan dari awal ia merintis pendidikan maka besar kemungkinan kepalsuan itu ia jalankan hingga ia beranjak dewasa nanti. Barangkali mungkin ini berawal dari orang tua yang yang menginginkan anaknya masuk ke sekolah negeri dengan menyogok agar anaknya bisa masuk dalam sekolahan itu atau memberikan amplop sogokan agar nilai jelek anaknya bisa berubah menjadi nilai yang bagus, namun ini merupakan sebuah contoh yang kurang baik dilakukan, sehingga besar kemungkinan anak tersebut ketika dewasa akan meniru kelakuan orang tuanya tersebut dan mungkin ketika ia menjabat sebagai ahli hukum, ilmuan, insinyur atau sebagainya seperti yang dijelaskan sajak diatas maka ia akan melakukan sebuah kebohongan/kepalsuan seperti yang orang tuanya dulu sempat ajarkan. Dan disinilah sumber dari masalahnya. Kita tahu bahwa segalla sesuatu yang dilakukan dengan kepalsuan akan mendatangkan sebuah mala petaka bagi yang menjalankan, cepat atau lambat itu akan menjadikan boomerang bagi mereka, baik itu mala petaka di dunia maupun di akhirat. Ini merupakan sebuah pelajaran bagi kita generasi muda agar tidak mencontoh kepalsuan tersebut.
Sajak diatas masih sangat relevan jika dikaitkan dengan zaman sekarang karena masih banyak sekali oknumā/orang tua/para pejabat yang melakukan banyak kepalsuan demi mementingkan isi perutnya/isi dompetnya/ bahkan kehidupannya. Kepalsuan yang tidak bisa di ubah tanpa adanya kesadaran di dalam dirinya sendiri. Sebuah karya sastra yang berani menggambarkan sebuah kebenaran demi terciptanya sebuah kebaikan. Salut Lord!!!
Komentar
Posting Komentar