MELIHAT REALITAS NEGERIKU DARI KACAMATA PUISI MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA KARYA TAUFIK ISMAIL


Membahasa fenomena politik di Indonesia seakan-akan tidak ada habisnya. Di media massa saja, kita akan disuguhi beragam berita seputar politik yang berkecamuk. Apa yang sedang diharapkan dan dituju para petinggi bangsa kita?. Mungkin bagi orang awam, arus politik di Indonesia seakan-akan penuh dengan berbagai ketimpangan terutama segala kebijakan yang dibuat tertuju untuk membatasi rakyat agar tidak berani melawan para penguasa. Itu dari kacamata para pengamat amatir atau awam, namun apabila para ahli atau pengamat politik yang melihat segala kegaduhan yang terjadi mungkin politik di Indonesia tidak layak untuk dinilai. Teringat perbincangan dengan dosen saya ketika duduk diskusi membahas beragam ilmu humaniora termasuk politik. Beliau berujar bahwa politik di Indonesia jauh dari kata layak untuk diamati dan dinila karena begitu membosankan. 

Mungkin apabila kita sandingkan dengan puisi karya Taufik Ismail, dari masa ke masa akan nampak sama problematika yang disuguhkan. Mencoba merefleksi dari makna yang terkandung pada puisi tersebut. Segala persoalan yang ditangkap oleh sang penyair, menggambarkan bagaimana bobroknya kebijakan para politisi. Seakan-akan mereka berdiri bukan atas nama rakyat melainkan lebih tertuju pada kepentingan pribadi. Terlihat jelas pada larik sajaknya berikut ini.

“Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,

anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,

menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar

orangtua mereka bersenang hati,”


Makna yang tersirat pada penggalan puisi tersebut menunjukan mengenai kepentingan pribadi. politisi dan pejabat yang duduk di kursi jabatan. Mereka mendapatkan segala fasilitas dan kemewahan yang berasal dari uang rakyat. Seakan-akan kepentingan rakyat yang harus dijadikan objek dan landasan dalam berpolitisi nyatanya di sisihkan. Seakan sangat meresap ke relung hati pembacanya. Sesuai dengan judul yang digunakan pada puisi tersebut “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” sangatlah tepat. Bagaimana kita tidak malu selaku rakyat atau masyarakat?, tindakan para politikus dan pejabat lah yang menjadikan kita malu. Tidak adanya sesuatu yang dituntaskan dan justru permasalahan hadir setiap harinya seperti menanam benih permasalahan.

Membaca kembali puisi Taufik Ismail, kita akan dibawa melihat kondisi perpolitikan di Indonesia saat ini. Meskipun usia puisi tersebut sudah lapuk, akan tetapi puisi tersebut masih sangat relevan karena perpolitikan di Indonesia permasalahannya dari era ke era tetaplah sama. Seperti halnya pada penggalan puisi tersebut di bawah ini.

Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak

rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya

dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek

Jakarta secara resmi,


Pada penggalan puisi tersebut, makna yang dapat dituai seakan relevan dengan kondisi saat ini. Hukum yang dibuat para pejabat seakan-akan tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Para politikus membuat segala kebijakan untuk membatasi rakyat seperti halnya dalam pasal UU ITE dan Pasal dalam penghinaan para pejabat termasuk Presiden. Kemelut tersebut seakan membawa kita pada Era Orde Baru saat kepemimpinan Soeharto. Kita diabatasi dalam segala aspek agar para penguasa dengan leluasa dapat membuat segala kebijakan yang dapat menguntukan mereka. Kritik dibatasi akan tetapi para pejabat membuat aturan yang sangat tidak menguntukan dengan dalih keamanan negara dan kebijakan pemerintah.

Puisi Taufik Ismail memberikan kita pencerahan bagaimana kita selaku bangsa menyikapi fenomena perpolitikan di negeri sediri. Benar apa yang dikatakan Almarhum Presiden Amerika Jhon Frans Kennedy, bahwa puisi dapat menyucikan politik. Kata-kata tersebut dapat kita tuai dari merenungi setiap makna yang ditulis oleh Taufik Ismail. Meskipun Taufik Ismail dikenal sebagai penyair nasionalis dan religuis, tak jarang dalam puisi-puisinya ia menyampaikan kegelisahanya saat merekam fenomena perpolitikan. Dibalut dengan penyampaian yang halus dan sajak-sajak metafor, penyair berhasil menggiring pembacanya termasuk saya sebagai seorang penulis untuk menyikapi ketimpangan keadilan bagi rakyat. Kita tidak boleh abai dalam arus perpolitikan saat ini meskipun kita nilai perpolitikan di Indonesia tidak layak. 

Tipografi yang dibangun oleh penyair dapat memberikan kesan yang estetis sehingga meskipun puisi yang disampaikan begitu panjang, pembaca tidak akan nampak bosan karena pembangunan konstruksi puisi yang estetik. Selain itu gaya penyampaian yang khas, penulis menganggap bahwa penyair sangat konsisten dalam antologi ini. Seperti pada penggalan puisi berikut.

“Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,”


Penggalan puisi tersebut dibangun dengan menggunakan gaya metafor yang dapat memberikan makna yang berkesan sehingga pembaca tidak bosan mengulang-ulang tiap-tiap baik apabila masih belum menemui makna yang terkandung. Selain itu makna yang coba disampaikan, penulis interpretasikan sebagai sebuah perjalanan spiritualitas penyair dalam merenungi kemelut permasalahan politik. Seakan penyair mencoba membandingkan kondisi negerinya dengan negeri lain yang nampak lebih tenang. Ada rasa kekecewaan yang mendalam sehingga penyairpun berani dalam mengambil judul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”.

Pada akhirnya, melalui puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” apabila dihubungkan dengan fenomena perpolitikan saat ini, puisi tersebut sangat tampak relevan. Mengapa demikian? Karena perpolitikan di Indonesia menyuguhkan wajah perpolitikan yang sama dan membosankan. Meskipun dalam penyampain puisi yang tidak cocok untuk digunakan menggebuh-gebuh, tapi kandungan makna puisi tersebut sangat cocok dijadikan sebagai bahan perenungan. 


Komentar

Postingan Populer